Jumat, 18 September 2015

Ini Bukan Ibu Budi, Ini Ibu Saya

Ibu,
Aku cinta Ibu bukan karena ada surga di kakimu
Aku cinta Ibu karena duniaku adalah Ibu
Aku cinta Ibu karena aku cinta Ibu,
tanpa syarat, tanpa isyarat



Sabtu, 29 November 2014

Penggila Bubble Tea yang Setia Pada Kopi





Yes, please, Mr. Gosling!

Saya dan kopi bukan pasangan ideal. Lebih tepatnya, kami pasangan yang janggal. Sesekali saya masih menduakan kopi dengan bubble tea rasa taro yang rasanya lebih centil. Tapi perselingkuhan saya dengan bubble tea rasa taro nggak pernah bertahan lama. Akhirnya, kepada kopi saya selalu kembali. 

Ada riak yang memprovokasi inspirasi di balik permukaan tenang seduhan kopi. Yeap, kopi sering menjentikkan sesuatu di dalam kepala saya. Saat mati gaya bertemu dengan narasumber yang kaku, perdebatan santai tentang kopi hitam dan kopi susu bisa melelehkan suasana. Ketika berbeda pendapat dengan Ayah, secangkir kopi jadi pemecah keheningan yang nyaman. Atau ketika tenggat waktu pekerjaan memburu, segelas kopi dingin bisa diandalkan.
 

Hubungan saya dan kopi memang janggal karena, sumpah, saya nggak terlalu suka dengan sensasi pahit atau getir di penghujung rasa kopi. Tapi saya setia pada kopi karena kopi bukan pencemburu, yang menuntut dengan buru-buru. Karena kopi itu santai, tapi bisa melesatkan ide-ide baru. Karena kopi itu tepat waktu, ia tahu kapan harus menjelma jadi letupan semangat, ia juga tahu kapan harus mewujud jadi sahabat.


***
Twitter: @cemmmpaka

Senin, 14 Juli 2014

Karakter! Karakter!

Catatan Workshop Cerpen Kompas
Bab 2: Menyapa Pangeran Kunang-kunang, Agus Noor


(Masih dalam suasana gagal move on dari Workshop Cerpen Kompas)

Tidak sulit mengenali sosok Agus Noor di antara kerumunan orang. Rambutnya gondrong diikat seadanya dengan karet yang juga seadanya, berkacamata, tubuhnya yang jangkung semakin terlihat menjulang dengan sepasang sepatu boot di kakinya. Namun, ada satu hal yang paling tidak pasaran dari seorang Agus Noor: senyumnya yang sangat lebar dan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, memburu seperti peluru.


Kelihatan 'kan yang mana Agus Noor?

Yeaap! Kata-katanya memang memburu seperti peluru. Meluncur cepat menuju sasaran. Saya dan teman-teman lain yang terpilih mengikuti Workshop Cerpen Kompas sangat beruntung bisa mencuri ilmu dari sang Pangeran Kunang-kunang di sesi kedua selama dua jam (lebih, karena setelah sesi selesai, kami masih mengerubungi Agus untuk bertanya ini itu ini itu. Hehe!)

Tak heran kalau sosoknya begitu mudah dikenali oleh orang di sekitarnya, bahkan Agus Noor sendiri sangat mengenali karakter dirinya. Karakternya kuat dan ia tahu apa yang ia sukai. Karakter merupakan bumbu penting dalam menulis cerita. Karakter, memberikan ruh atau jiwa pada deretan huruf dan kalimat. Karakter, membuat tulisan seseorang memiliki ciri khas. Karakter, membuat tulisan lebih bernilai.

Belum Jadi Penulis Kalau Belum Menulis

Catatan Workshop Cerpen Kompas
Bab 1: Berguru Pada Seno Gumira Ajidarma

Bohong kalau saya mengatakan bahwa saya santai-santai saja menunggu tanggal 13 Juni 2014. Bohong besar. Saya sama sekali tidak santai apalagi woles bro sis... menunggu Jumat pagi. Saya menunggu ini:


Ya, menunggu ini, melihat nama saya tertera dalam deretan nama cerpenis yang terpilih untuk mengikuti Workshop Cerpen Kompas. Masih tidak percaya pada penglihatan sendiri, saya pun menggariskan spidol hijau persis di bawah nama saya. Hanya untuk memastikan bahwa hanya ada satu Cempaka Fajriningtyas di Jakarta yang lolos. Hanya ada satu dan itu adalah saya.

Reaksi saya berlebihan, ya? Ah, wajar kok... wajar berlebihan, apalagi kalau dapat kesempatan 'berguru' dari penulis-penulis gawat seperti Seno Gumira Ajidarma, Agus Noor, dan Editor Kompas Minggu yang juga gawat, Putu Fajar Arcana. Hanya 30 cerpenis yang terpilih dari 300 lebih aplikasi yang masuk.

Selasa, 05 November 2013

Dari Secangkir Kopi, Jadi… Public Relations Consultant!

Obrolan ringan tentang selembar ijazah sarjana PR dan manfaatnya untuk karir Anda di bidang PR


sumber foto: badgeandblade.com

  Judul ini saya pilih bukan karena saya seorang peminum kopi. Bukan juga karena saya bergelut di dunia public relations (PR). Judul ini mewujud karena memang kondisi yang melatarbelakanginya terjadi saat saya sedang menyeruput kopi. Sore itu, saya sedang menjadi ‘lampu sudut’. Sendiri di pojok kedai kopi, menunggu teman yang hobi ngaret sejak setengah jam yang lalu. Anda pasti setuju kan kalau menunggu = pekerjaan paling membosankan sejagat. Jadi, di situlah saya, mulai memperhatikan perilaku dan penampilan pengunjung kedai kopi yang lalu lalang sebagai pengusir bosan.

Setiap pengunjung, meski begitu berbeda satu sama lain, ternyata memiliki satu kesamaan: mereka berusaha mengomunikasikan ‘pesan’nya ke pengunjung lain. Secara non verbal, ‘pesan’ berupa identitas dan status dalam kelompok sosial mereka sampaikan melalui ekspresi wajah, sikap tubuh, pilihan pakaian, aksesori, gadget, potongan rambut, jenis kopi yang mereka sruput, dan bahkan posisi duduk mereka di kedai kopi. Hasilnya: identitas si dia yang nge-hits, dia yang ingin terlihat nge-hits, dia yang anti mainstream, dia yang idealis, dia yang nyeni, dia yang setengah-setengah, dia yang berpengaruh, dia yang follower, dia yang sedang mencari jati diri, dan dia yang lain-lainnya pun tersampaikan ke orang-orang di sekitarnya. Meski ‘pesan’nya kedengeran sederhana, setiap orang pasti melewati proses trial and error untuk membuat orang lain memahami ‘pesan’ mereka.