Minggu, 27 Desember 2009

Hari Ini Tidak Ada yang Masuk ke Kamar Mayat

“Kita mulai ya,” ujar salah satu dokter yang berwajah cantik. Dokter itu tersenyum menatapku, seakan mencoba meyakinkanku bahwa hari ini tidak ada pasien yang akan masuk kamar mayat. Bersamaan dengan kalimat pembuka itu, tiba-tiba lengan kiriku terasa kram, seperti ada ribuan semut yang berbaris di dalam aliran darahku. Rupanya dokter anestesi sudah menyuntikkan obat bius ke tubuhku melalui selang infus yang menancap dengan kokoh di pergelangan tangan kiriku.

Perlahan, lampu bulat besar dengan enam neon putih yang tergantung di atas kepalaku terlihat berputar-putar. Awalnya lampu bulat itu bertransformasi menjadi berbentuk pipih, lalu bulat lagi, pipih lagi, bulat lagi dan terus saja begitu. Perlahan, kepalaku terasa sangat ringan sampai-sampai aku sendiri tidak yakin apakah kepalaku masih berada di tempatnya.



Rasa kebas mulai menjalar ke seluruh tubuhku yang hanya terbungkus selimut tipis berwarna hijau pupus. Kucoba untuk bersuara, namun bibirku terlalu lemah untuk bergerak. Salah seorang perawat malah segera membungkam mulutku dengan masker oksigen. Semakin lama aku mencoba untuk sadar, semakin kuat morfin itu melumpuhkan tubuhku. Semua hal bergerak semakin lambat di sekelilingku. Begitu juga dengan alat deteksi detak jantung yang sejak tadi berkoar-koar memamerkan betapa cepatnya jantungku bekerja.

Kelopak mataku akhirnya mengibarkan bendera putih, aliran obat bius semakin liar merayapi setiap senti dari bagian tubuhku. Suara-suara pun terdengar semakin jauh, lalu aku mulai merasakan diriku terpeleset. Melayang-layang sendiri, diselimuti kegelapan tanpa ada yang bisa kujadikan pegangan.
***

Klik! Seperti menjentikkan jari saja, tiba-tiba aku terbangun dari tidur yang sangat lelap. Secara malu-malu, seluruh indraku mulai berfungsi lagi. Pip… Pip… Pip… Pip… Bunyi alat deteksi detak jantung itulah yang pertama kali berdendang dan menggelitik alam bawah sadarku. Aku mulai dapat merasakan lagi setiap tarikan napasku yang membawa gelembung-gelembung oksigen memenuhi paru-paruku dengan lembut. Saat itulah aku tahu, aku masih hidup!

Berbeda dengan sebelum aku tertidur tadi, kali ini seluruh tubuhku terasa sangat berat. Aku seperti ditindih oleh kegelapan yang pekat dan terperangkap di dalam tubuhku sendiri. Kelopak mataku bahkan terlalu berat untuk bergerak. Perasaan lega ketika mengetahui bahwa aku masih hidup dengan cepat berganti menjadi rasa panik. Sepertinya aku berlarian di alam bawah sadarku, mencoba mencari bagian mana dari tubuhku yang mau berkompromi untuk bergerak.

“Lihat! Jarinya bergerak!” pekik seseorang yang suaranya terdengar sangat akrab di telingaku. Suara Bolo, mamaku. Aaah… rupanya jari-jari tanganku sudah mau berkompromi. Tidak lama setelah jari-jariku bisa bergerak, kegelapan yang menyelimutiku mulai berganti-ganti warna. Merah, lalu dengan cepat berganti menjadi hijau, berganti lagi menjadi biru, lalu kuning dan terus saja berganti-ganti warna dengan sangat cepat. Pergantian warna-warna itu membuat kepalaku pusing sekali, sepertinya aku berputar-putar tanpa arah.

Kilatan-kilatan warna itu lalu berganti menjadi warna putih yang menentramkan. Ada bayangan-bayangan kelabu yang menghiasi warna putih itu. Perlahan semuanya menjadi lebih jelas. Bayangan-bayangan kelabu itu tidak lain adalah Bolo, Ompi, Cacac, dan dokter cantik yang tadi mengoperasiku.

Mereka semua terlihat lega. Di antara keriuhan keluargaku, aku sempat melirik ke arah dokter cantik itu. Beliau tetap tersenyum, seperti orang yang lega karena telah berhasil menepati janjinya bahwa hari ini tidak ada pasien yang akan masuk ke kamar mayat.
***




Angkat topi untuk Dr. Dhian Hangesti, SpB(K)Onk.
ps: saya tidak jadi masuk kamar mayat pada tanggal 1 Agustus 2008.

Tidak ada komentar: