Minggu, 27 Desember 2009

Obrolan Kopi Ed Zoelverdi


Seperti minum kopi, Ed Zoelverdi menjalani hidupnya dengan ringan.
Wartawan foto profesional yang akrab dengan sebutan Mat Kodak ini bahkan dengan bangga
mengatakan bahwa dirinya adalah orang pasar yang tidak pernah sekolah.

   Usia Ed Zoelverdi memang tidak muda lagi. Tahun ini usianya 66 tahun pada 12 Maret yang lalu. Namun, pria nyentrik yang dilahirkan di Kutaraja (kini Banda Aceh) itu tidak pernah merasa tua. Menurutnya, usia dalam konteks badaniah boleh saja tua tetapi kemanfaatan hidup tidak diukur dari sudah berapa lama orang itu hidup di dunia, melainkan dari cara berpikir.

   Kata-kata bijak yang dirangkainya sendiri itu rupanya dimaknai dengan sangat mendalam oleh Ed. Cara berpikirnya yang kritis dan jiwanya yang mencintai tantangan, membuat kepala Ed selalu disesaki oleh ribuan pertanyaan. Rasa haus akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat jiwanya selalu muda.
Ed tidak ingin sekedar menjadi bangkai hidup yang tidak pernah berpikir alias zombie dalam kehidupan ini. Ia tidak ingin mati sebelum ajal. Tampaknya, rasa enggan menjadi zombie tersebutlah yang pada akhirnya mengenalkan Ed pada dunia fotografi, dunia yang sangat dicintainya sampai saat ini.



Sejak dulu saya menyukai fotografi. Tapi kalau ente tanya kapan pastinya… Begini loh, saya ini punya penyakit. Saya ini orangnya suka ditantang. Kalau ditantang, saya pasti berusaha mati-matian untuk membuktikan kepada yang menantang bahwa saya bisa. Waktu itu ceritanya, saya ini kan wartawan ya, dulu bayar fotografer itu kan mahal dan fotografer tidak mungkin mengikuti wartawan kemana-mana untuk meliput berita. Jadi mau tidak mau, si wartawan harus bisa memotret juga. Jadi, pada saat itu, saya berkomentar sewaktu melihat foto hasil liputan seorang wartawan. Saya bilang “Ini foto jelek amat!”. Si Wartawan yang punya foto itu marah, terus dia jawab “Emangnya lo pikir gampang bikin foto jurnalistik? Lo bisa nggak?” Waaaah… ditantang seperti itu, saya malah jadi mau ngebuktiin dong kalau saya bisa foto jurnalistik.

Bagaimana cara Anda mempelajari teknik-teknik fotografi?
Otodidak saja. Tapi otodidak pun tetap ada gurunya. Jadi otodidak itu cuma istilah untuk sekolah formal dan non-formal saja. Ente tahu siapa guru saya? Guru saya WS. Rendra. Memang sebelumnya saya sudah mengenal beliau. Saya bilang sama beliau kalau saya mau belajar fotografi. Jadi yaaa… saya ikutin dia kemana saja, saya bawa kamera ke mana-mana.

Apa salah satu contoh pelajaran yang Anda dapatkan dari WS. Rendra?
Begini… jadi salah satu kekeliruan orang belajar fotografi yaitu mereka ribut soal merk kamera, diafragma, itu bukan persoalan! Begitu orang ngeliat gambar, orang mana peduli proses apalagi merk kamera! Yang penting foto itu bisa bercerita. Itu sama aja kayak saya pernah bilang “menulis dengan pena emas.” Apakah jaminan bisa jadi masterpiece? Belum tentu kan? Yang penting itu the man behind the gun. Jadi hasil foto kan bukan karena merk kameranya tapi karena kemampuan orang di belakang kamera. Pakai saja alam! Ini matahari, ente berdiri aja di bawah pohon. Saya jamin, lampu studio yang sepuluh biji itu, bisa diselesaikan dengan alam.

The One Million Dollars Man
   Fotografi ternyata mampu membuat dunia pria berkacamata St. Dupont ini semakin berwarna dan bermakna. Dengan berbekal ilmu fotografi, Ed melanglang buana ke seluruh pelosok dunia dengan menjadi juri di berbagi lomba foto. Ia melihat dunia dan membantu orang-orang untuk dapat melihat dunia melalui foto-fotonya. Sungguh suatu hal yang mustahil bagi orang pasar yang tidak pernah sekolah. Namun, Ed membuktikan bahwa dirinya mampu mematahkan stigma tersebut.

   Dengan bangga, Ed mengatakan bahwa dirinya belajar dari burung. Menurutnya, burung adalah makhluk Tuhan yang menggunakan instrumen-instrumen terbaiknya dengan tepat, yaitu sayap, paruh dan cakar. Begitu pula dengan dirinya, sebisa mungkin Ed menggunakan instrumen terbaiknya dengan tepat, yaitu akal.

   Tidak hanya itu saja, pria yang pernah menerima Adam Malik Award (Anugerah Adam Malik) untuk pengabdian di bidang fotografi pada tahun 1987 ini juga aktif di bidang jurnalistik dan dunia pendidikan. Sampai saat ini, Ed masih aktif sebagai senior editor di majalah bulanan Lionmag (the inflight magazine of Lion Air), majalah Ombudsman dan menjadi dosen luar biasa yang mengajar mata kuliah jurnalistik foto di berbagai universitas, salah satunya di Universitas Indonesia.

Pertama, saya harus koreksi baik-baik ya. Saya ini tidak pernah mengajar. Saya ini hanya berbagi pengalaman. Syukur-syukur orang lain bisa paham, itu saja. Saya selalu berdoa. Kalau saya bicara itu orang lain bisa paham, tidak timbul salah paham. Ente ingat ketika pertama kali masuk kelas saya? Saya bilang “Saya tidak akan menilai Anda.” Ingat tidak? Hidup saya selalu penuh dengan doa. Jadi kalau misalnya saya memainkan photo yang foto badan orang saya tempel dengan latar belakang foto kota Paris, Itu bukan main-main! Saya selalu bilang, ini foto mengandung doa, ente taro di kamar tidur, lalu kamu liat saban hari, berdoa! Insya Allah besok ente sampai di Paris.

Apakah itu salah satu alasan Pak Ed membuat sertifikat foto berbentuk uang satu juta dolar dengan foto sahabat-sahabat Pak Ed di tengahnya?
Termasuk! Itu doanya, paling sedikit, segitulah jumlah uang yang kita punya di dompet. Saya ingin semua orang menjadi sukses.

Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata
   Berbeda dengan kebanyakan orang, Ed mengatakan bahwa semua pengalamannya hidupnya menarik. Tidak pernah ada yang dianggap sebagai duka. Semua pengalaman hidup yang pernah dirasakan oleh Ed merupakan sebuah kumpulan suka cita. Bagi Ed, pengalamanlah yang membentuk dirinya yang sekarang.

   Pengalaman seperti ketika beliau hanya dibayar Rp 750 untuk memotret sebuah acara di tahun 1969 dan pengalaman ketika ia dilarang untuk memotret suatu pertunjukan dari belakang panggung itu dianggapnya sebagai pelajaran hidup, bukan sebagai pengalaman pahit. Ed menambahkan bahwa menjadi wartawan selain membanggakan juga menyenangkan karena pekerjaan tersebut bisa membuatnya bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan. Dari tukang sampah sampai mantan gubernur Jakarta, Ali Sadikin (alm). Dari gelandangan sampai mantan Presiden RI, Gus Dur.

   Ed memang hidup di dalam dunia fotografi, namun ia menolak jika disebut sebagai fotografer. Ia lebih senang jika disebut sebagai wartawan foto. Profesi itulah yang membuat Ed tidak pernah mengadakan pameran foto seperti para fotografer.

Mengapa Anda tidak pernah mengadakan pameran foto? Hasil karya Anda kan bagus-bagus dan sudah diakui di dunia fotografi.
Untuk apa? Saya ini wartawan. Jadi setiap foto yang saya buat itu memang harus saya pamerkan di media massa. Saya tidak perlu ruang pameran untuk foto-foto saya. Setiap hari saya sudah pameran. Kalau yang dulu diadakan TEMPO sih bukan saya saja, itu memang dibuat untuk semua wartawan foto untuk memamerkan foto-fotonya.

Kopi, Alam, dan Fotografi
   Ed ternyata tidak becanda ketika menuliskan ‘menikmati musik, mengobrol dan mengoleksi cerita jenaka’ pada kolom hobi di biodatanya. Ed mengatakan bahwa dirinya mampu mengobrol selama 40 jam non-stop untuk membicarakan berbagai hal, apalagi kalau sambil minum kopi.

   Kopi, alam, dan fotografi memang tiga hal yang paling tepat untuk menggambarkan kepribadian seorang Ed Zoelverdi. Membumi seperti kopi yang bisa diminum oleh siapa saja dan kapan saja. Berubah-ubah seperti alam yang menyimpan banyak misteri. Mulia seperti fotografi yang bisa membuat seseorang melihat dunia.

Makanya jangan melihat apa-apa itu pakai kacamata hitam, waaah… berat bener hidup kalau begitu. Hidup itu penuhi saja sama humor. Saya ini kan orang Minang, diajarkan untuk belajar dari alam. Kamu tau hukum alam? Begini bunyi hukum alam: yang tidak pernah berubah dari alam adalah perubahan itu sendiri. Maka kita kalau hidup itu harus terus bergerak, harus berkembang. Jangan jadi orang yang sombong dengan bilang bahwa ‘orang emang udah dari sananya begitu’. Itu namanya sombong. Allah membenci orang sombong dan kesombongan hanya akan membuat orang lupa diri. 

   Ed menyeruput sisa kopi pahitnya yang sudah hampir menyentuh dasar gelas. Wajahnya yang dihiasi keriput terlihat sumringah. Nampaknya, Ed memang senang sekali mengobrol untuk berbagi pengalaman.
Ed yang terlihat kaku dari luar ternyata mempunyai hati yang sangat hangat. Baginya, membuat orang lain menjadi sukses, dapat membuat hidupnya menjadi lebih bermakna. Memuliakan orang lain memang tidak perlu dengan sesuatu yang besar. Seperti awal kariernya yang dimulai dari keengganannya menjadi zombie. Sesuatu yang besar memang selalu berawal dari sesuatu yang sederhana.






Depok, 8 Maret 2009









Tidak ada komentar: