Selasa, 05 November 2013

Dari Secangkir Kopi, Jadi… Public Relations Consultant!

Obrolan ringan tentang selembar ijazah sarjana PR dan manfaatnya untuk karir Anda di bidang PR


sumber foto: badgeandblade.com

  Judul ini saya pilih bukan karena saya seorang peminum kopi. Bukan juga karena saya bergelut di dunia public relations (PR). Judul ini mewujud karena memang kondisi yang melatarbelakanginya terjadi saat saya sedang menyeruput kopi. Sore itu, saya sedang menjadi ‘lampu sudut’. Sendiri di pojok kedai kopi, menunggu teman yang hobi ngaret sejak setengah jam yang lalu. Anda pasti setuju kan kalau menunggu = pekerjaan paling membosankan sejagat. Jadi, di situlah saya, mulai memperhatikan perilaku dan penampilan pengunjung kedai kopi yang lalu lalang sebagai pengusir bosan.

Setiap pengunjung, meski begitu berbeda satu sama lain, ternyata memiliki satu kesamaan: mereka berusaha mengomunikasikan ‘pesan’nya ke pengunjung lain. Secara non verbal, ‘pesan’ berupa identitas dan status dalam kelompok sosial mereka sampaikan melalui ekspresi wajah, sikap tubuh, pilihan pakaian, aksesori, gadget, potongan rambut, jenis kopi yang mereka sruput, dan bahkan posisi duduk mereka di kedai kopi. Hasilnya: identitas si dia yang nge-hits, dia yang ingin terlihat nge-hits, dia yang anti mainstream, dia yang idealis, dia yang nyeni, dia yang setengah-setengah, dia yang berpengaruh, dia yang follower, dia yang sedang mencari jati diri, dan dia yang lain-lainnya pun tersampaikan ke orang-orang di sekitarnya. Meski ‘pesan’nya kedengeran sederhana, setiap orang pasti melewati proses trial and error untuk membuat orang lain memahami ‘pesan’ mereka.


Perilaku dan penampilan para pengunjung kedai kopi itu mengingatkan saya dengan proses penyampaian berita dalam dunia PR. PR—berfungsi sebagai ‘corong’—mengomunikasikan pesan dari institusi atau klien yang mereka wakili ke pada sekelompok orang yang diinginkan. Bedanya, PR tidak hanya menggunakan komunikasi non verbal untuk menyampaikan pesan, tetapi juga melalui komunikasi verbal (lisan dan tulisan).

Untuk menyampaikan sebuah berita, seorang PR harus paham betul dengan pesan utama yang ingin disampaikan oleh institusi atau klien yang mereka wakili. Pesan utama itu kemudian diterjemahkan dalam kata, kalimat, dan foto dalam siaran pers. Agar tepat sasaran, seorang PR juga harus bisa mengetahui dengan baik ke pada siapa pesan utama itu akan disampaikan dan strategi penyampaiannya. Perhitungkan juga gangguan-gangguan yang dapat menghambat penyampaian pesan utama. Pada akhirnya, aktivitas PR dikatakan berhasil jika pesan utama sampai dengan jelas ke orang yang diinginkan pada waktu yang tepat. Jika dikaitkan dengan perilaku pengunjung kedai kopi, pada dasarnya setiap orang adalah ‘PR’ untuk dirinya sendiri. Sama-sama ingin mengomunikasikan ‘pesan’. Sama-sama ingin ‘pesan’nya sampai dengan jelas ke orang yang diinginkan.

Nah, pertanyaannya:
Jika semua orang mempunyai insting untuk menjadi ‘PR’ bagi dirinya sendiri (dan ada mesin pencari google yang menyimpan banyak informasi tentang ilmu PR), apa gunanya kuliah jurusan PR?
Ya, setiap orang memang mempunyai insting untuk menjadi ‘PR’ bagi dirinya sendiri. Dan ya, terima kasih untuk the mighty google yang bisa menjawab semua pertanyaan Anda tentang seluk-beluk ilmu PR. Tapi, apakah insting dan jawaban-jawaban google cukup untuk membuat Anda lolos seleksi dokumen saat proses melamar pekerjaan sebagai PR? Kecuali Anda adalah Gladstone Gander (karakter fiksi angsa yang selalu beruntung dalam cerita Donald Duck), kemungkinan besar jawabannya adalah: tidak. Selembar ijazah sarjana dapat membuka jalan karir Anda karena—suka atau tidak—ijazah sarjana masih menjadi syarat penting bagi sebagian besar perusahaan (termasuk yang bergerak di bidang PR) di Indonesia.

Selain demi selembar ijazah PR dan lolos seleksi dokumen awal, apa lagi manfaat kuliah jurusan PR?
Insting, passion, dan jawaban-jawaban dari the mighty google adalah modal yang kuat. Tapi, kuliah jurusan PR yang lengkap dengan sesi magang (dan dramanya!) adalah amunisi Anda. Deretan teori fundamental dan analisis mendalam tentang berbagai praktik komunikasi akan mempertajam pola pikir Anda saat melakukan aktivitas PR di dunia kerja. Selama proses kuliah, Anda juga punya kesempatan lebih besar untuk berkenalan dan mencuri ilmu dari para praktisi PR yang sudah lebih dulu sukses (atau lebih dulu gagal) ―belajar juga bisa dari kegagalan ‘kan? Ssstt… kuliah jurusan PR juga bisa jadi ajang pelatihan mental sebelum Anda benar-benar terjun ke dunia kerja PR yang… selalu punya cerita di balik sebuah senyum.

Jadi, apakah kuliah jurusan PR menjamin Anda bisa sukses berkarir sebagai PR handal?
Insting + passion + jawaban google + deretan teori komunikasi + analisis mendalam + kenalan praktisi PR + pengalaman magang + selembar ijazah PR = seharusnya sukses. Tapi, saya lebih suka menjawab pertanyaan yang ini dengan mengutip kata pebisnis besar asal Inggris Richard Branson, “Screw it, let’s do it!” Anda tidak akan pernah tahu kalau belum mencobanya ‘kan?

Mari lanjut menyeruput kopi!



Ps: Ssstt... tulisan saya yang ini juga 'mangkal' di blog Praxis :)

Tidak ada komentar: