Senin, 14 Juli 2014

Belum Jadi Penulis Kalau Belum Menulis

Catatan Workshop Cerpen Kompas
Bab 1: Berguru Pada Seno Gumira Ajidarma

Bohong kalau saya mengatakan bahwa saya santai-santai saja menunggu tanggal 13 Juni 2014. Bohong besar. Saya sama sekali tidak santai apalagi woles bro sis... menunggu Jumat pagi. Saya menunggu ini:


Ya, menunggu ini, melihat nama saya tertera dalam deretan nama cerpenis yang terpilih untuk mengikuti Workshop Cerpen Kompas. Masih tidak percaya pada penglihatan sendiri, saya pun menggariskan spidol hijau persis di bawah nama saya. Hanya untuk memastikan bahwa hanya ada satu Cempaka Fajriningtyas di Jakarta yang lolos. Hanya ada satu dan itu adalah saya.

Reaksi saya berlebihan, ya? Ah, wajar kok... wajar berlebihan, apalagi kalau dapat kesempatan 'berguru' dari penulis-penulis gawat seperti Seno Gumira Ajidarma, Agus Noor, dan Editor Kompas Minggu yang juga gawat, Putu Fajar Arcana. Hanya 30 cerpenis yang terpilih dari 300 lebih aplikasi yang masuk.


Dan akhirnya tiba juga hari yang saya tunggu-tunggu. Pagi itu 25 Juni 2014, selama perjalanan menuju redaksi Kompas di Palmerah, isi kepala saya cuma tralala trilili senangnya rasa hati (minus penampakan badut bekantan, ya).

Setelah berkenalan dengan teman-teman baru, sesi pertama dimulai oleh the one and only Seno Gumira Ajidarma.

Dengan rambut keabuan terurai, Seno berjalan ke depan kelas lalu berkata, "Lha... terus saya harus bicara apa ini? Jadi Penulis ya harus nulis, nggak bisa diajari." Tawa Seno kemudian berderai keras dan seluruh peserta pun ikut tertawa. Dari situ, saya tahu hari ini akan menjadi hari yang sangat menyenangkan.


Hasil corat-coret selama berguru dengan Seno

Selama hampir dua jam Seno 'meracau' di depan kelas, saya merangkumnya dalam bentuk coretan-coretan. Kenapa saya bilang 'meracau'? Ya, karena Seno tidak berada di situ untuk mengajar para peserta, apalagi menggurui. Seno di situ berusaha memancing para peserta untuk berani memerdekakan pikiran dan berpikir kreatif. Karena dari situlah, ide-ide biasa akan menjadi bernilai luar biasa. Kira-kira begini yang saya tangkap dari racauan Seno:

-- Merdeka berimajinasi
Jangan kebanyakan berpikir yang serius-serius. Merdekakan pikiran untuk mencari ide-ide tulisan. Mulai dari hal-hal sederhana seperti aktivitas kita sehari-hari, amati lebih dalam untuk mendapatkan suatu kisah yang bernilai untuk diceritakan kembali ke orang lain.


--Merdeka menentukan angle 
Setiap orang punya sudut pandang yang berbeda-beda untuk suatu peristiwa. Kita, sebagai penulis, harus bisa mencari sudut pandang cerita yang unik, yang bisa menciptakan "wooow loh kok gw nggak kepikiran ya" moment untuk pembacanya. Misalnya, dari kalimat yang biasa dipakai untuk pelajaran membaca anak SD: Ibu pergi ke pasar. Tanya ke diri sendiri: untuk apa Ibu ke pasar? Kenapa ke pasar, kenapa bukan ke supermarket yang nyaman? Ibunya siapa yang ke pasar? 
Dari pertanyaan-pertanyaan itu, bisa muncul sudut pandang cerita unik. 

--Merdekakan cara bercerita
Intinya, sampaikan sesuatu tanpa mengucapkan kata yang dimaksud. Misalnya ingin mengatakan 'wanita itu keriput', kita bisa menyampaikannya dengan 'kerut halus membingkai sudut mata wanita itu.'
Biarkan pembaca menggila menerjemahkan deretan kata tersebut. Cihuy ya!


--Ending yang menohok
Ada banyak cara untuk mengakhiri cerita, kita bebas menentukannya. Namun, harus menohok, harus punya pesan, harus membuat pembaca mendapatkan 'sesuatu' dari cerita kita.

 
--Sudah nulis belum?
Ini yang paling saya ingat dari Seno. Mau jadi penulis, ya intinya harus nulis. Mau sukses atau tidak, ya nulis saja dulu untuk melatih diri kita menjadi penulis.

Seno Selfie Moment. Seno bilang, "Duh kok saya kelihatan tua banget sih!"


Behind the Selfie: Belum sah jadi cerpenis kalau belum selfie bareng Seno!



Terima kasih, Seno Gumira Ajidarma!

Ps: Jadi, kamu sudah nulis belum hari ini?


Tidak ada komentar: