Wartawan foto profesional yang akrab dengan sebutan Mat Kodak ini bahkan dengan bangga
mengatakan bahwa dirinya adalah orang pasar yang tidak pernah sekolah.
Usia Ed Zoelverdi memang tidak muda lagi. Tahun ini usianya 66 tahun
pada 12 Maret yang lalu. Namun, pria nyentrik yang dilahirkan di
Kutaraja (kini Banda Aceh) itu tidak pernah merasa tua. Menurutnya, usia
dalam konteks badaniah boleh saja tua tetapi kemanfaatan hidup tidak
diukur dari sudah berapa lama orang itu hidup di dunia, melainkan dari
cara berpikir.
Kata-kata bijak yang dirangkainya sendiri itu rupanya dimaknai dengan sangat mendalam oleh Ed. Cara berpikirnya yang kritis dan jiwanya yang mencintai tantangan, membuat kepala Ed selalu disesaki oleh ribuan pertanyaan. Rasa haus akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat jiwanya selalu muda.
Kata-kata bijak yang dirangkainya sendiri itu rupanya dimaknai dengan sangat mendalam oleh Ed. Cara berpikirnya yang kritis dan jiwanya yang mencintai tantangan, membuat kepala Ed selalu disesaki oleh ribuan pertanyaan. Rasa haus akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat jiwanya selalu muda.
Ed
tidak ingin sekedar menjadi bangkai hidup yang tidak pernah berpikir
alias zombie dalam kehidupan ini. Ia tidak ingin mati sebelum ajal.
Tampaknya, rasa enggan menjadi zombie tersebutlah yang pada akhirnya
mengenalkan Ed pada dunia fotografi, dunia yang sangat dicintainya
sampai saat ini.
Sejak
dulu saya menyukai fotografi. Tapi kalau ente tanya kapan pastinya…
Begini loh, saya ini punya penyakit. Saya ini orangnya suka ditantang.
Kalau ditantang, saya pasti berusaha mati-matian untuk membuktikan
kepada yang menantang bahwa saya bisa. Waktu itu ceritanya, saya ini kan
wartawan ya, dulu bayar fotografer itu kan mahal dan fotografer tidak
mungkin mengikuti wartawan kemana-mana untuk meliput berita. Jadi mau
tidak mau, si wartawan harus bisa memotret juga. Jadi, pada saat itu,
saya berkomentar sewaktu melihat foto hasil liputan seorang wartawan.
Saya bilang “Ini foto jelek amat!”. Si Wartawan yang punya foto itu
marah, terus dia jawab “Emangnya lo pikir gampang bikin foto
jurnalistik? Lo bisa nggak?” Waaaah… ditantang seperti itu, saya malah
jadi mau ngebuktiin dong kalau saya bisa foto jurnalistik.
Bagaimana cara Anda mempelajari teknik-teknik fotografi?
Otodidak
saja. Tapi otodidak pun tetap ada gurunya. Jadi otodidak itu cuma
istilah untuk sekolah formal dan non-formal saja. Ente tahu siapa guru
saya? Guru saya WS. Rendra. Memang sebelumnya saya sudah mengenal
beliau. Saya bilang sama beliau kalau saya mau belajar fotografi. Jadi
yaaa… saya ikutin dia kemana saja, saya bawa kamera ke mana-mana.
Apa salah satu contoh pelajaran yang Anda dapatkan dari WS. Rendra?
Begini…
jadi salah satu kekeliruan orang belajar fotografi yaitu mereka ribut
soal merk kamera, diafragma, itu bukan persoalan! Begitu orang ngeliat
gambar, orang mana peduli proses apalagi merk kamera! Yang penting foto
itu bisa bercerita. Itu sama aja kayak saya pernah bilang “menulis
dengan pena emas.” Apakah jaminan bisa jadi masterpiece? Belum tentu
kan? Yang penting itu the man behind the gun. Jadi hasil foto kan bukan
karena merk kameranya tapi karena kemampuan orang di belakang kamera.
Pakai saja alam! Ini matahari, ente berdiri aja di bawah pohon. Saya
jamin, lampu studio yang sepuluh biji itu, bisa diselesaikan dengan
alam.
The One Million Dollars Man
Fotografi ternyata mampu membuat dunia pria berkacamata St. Dupont ini
semakin berwarna dan bermakna. Dengan berbekal ilmu fotografi, Ed
melanglang buana ke seluruh pelosok dunia dengan menjadi juri di berbagi
lomba foto. Ia melihat dunia dan membantu orang-orang untuk dapat
melihat dunia melalui foto-fotonya. Sungguh suatu hal yang mustahil bagi
orang pasar yang tidak pernah sekolah. Namun, Ed membuktikan bahwa
dirinya mampu mematahkan stigma tersebut.
Dengan bangga, Ed mengatakan bahwa dirinya belajar dari burung.
Menurutnya, burung adalah makhluk Tuhan yang menggunakan
instrumen-instrumen terbaiknya dengan tepat, yaitu sayap, paruh dan
cakar. Begitu pula dengan dirinya, sebisa mungkin Ed menggunakan
instrumen terbaiknya dengan tepat, yaitu akal.
Tidak hanya itu saja, pria yang pernah menerima Adam Malik Award
(Anugerah Adam Malik) untuk pengabdian di bidang fotografi pada tahun
1987 ini juga aktif di bidang jurnalistik dan dunia pendidikan. Sampai
saat ini, Ed masih aktif sebagai senior editor di majalah bulanan
Lionmag (the inflight magazine of Lion Air), majalah Ombudsman dan
menjadi dosen luar biasa yang mengajar mata kuliah jurnalistik foto di
berbagai universitas, salah satunya di Universitas Indonesia.
Pertama,
saya harus koreksi baik-baik ya. Saya ini tidak pernah mengajar. Saya
ini hanya berbagi pengalaman. Syukur-syukur orang lain bisa paham, itu
saja. Saya selalu berdoa. Kalau saya bicara itu orang lain bisa paham,
tidak timbul salah paham. Ente ingat ketika pertama kali masuk kelas
saya? Saya bilang “Saya tidak akan menilai Anda.” Ingat tidak? Hidup
saya selalu penuh dengan doa. Jadi kalau misalnya saya memainkan photo
yang foto badan orang saya tempel dengan latar belakang foto kota Paris,
Itu bukan main-main! Saya selalu bilang, ini foto mengandung doa, ente
taro di kamar tidur, lalu kamu liat saban hari, berdoa! Insya Allah
besok ente sampai di Paris.
Apakah
itu salah satu alasan Pak Ed membuat sertifikat foto berbentuk uang
satu juta dolar dengan foto sahabat-sahabat Pak Ed di tengahnya?
Termasuk! Itu doanya, paling sedikit, segitulah jumlah uang yang kita punya di dompet. Saya ingin semua orang menjadi sukses.
Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata
Berbeda dengan kebanyakan orang, Ed mengatakan bahwa semua
pengalamannya hidupnya menarik. Tidak pernah ada yang dianggap sebagai
duka. Semua pengalaman hidup yang pernah dirasakan oleh Ed merupakan
sebuah kumpulan suka cita. Bagi Ed, pengalamanlah yang membentuk dirinya
yang sekarang.
Pengalaman seperti ketika beliau hanya dibayar Rp 750 untuk memotret
sebuah acara di tahun 1969 dan pengalaman ketika ia dilarang untuk
memotret suatu pertunjukan dari belakang panggung itu dianggapnya
sebagai pelajaran hidup, bukan sebagai pengalaman pahit. Ed menambahkan
bahwa menjadi wartawan selain membanggakan juga menyenangkan karena
pekerjaan tersebut bisa membuatnya bertemu dengan banyak orang dari
berbagai lapisan. Dari tukang sampah sampai mantan gubernur Jakarta, Ali
Sadikin (alm). Dari gelandangan sampai mantan Presiden RI, Gus Dur.
Ed memang hidup di dalam dunia fotografi, namun ia menolak jika disebut
sebagai fotografer. Ia lebih senang jika disebut sebagai wartawan foto.
Profesi itulah yang membuat Ed tidak pernah mengadakan pameran foto
seperti para fotografer.
Mengapa Anda tidak pernah mengadakan pameran foto? Hasil karya Anda kan bagus-bagus dan sudah diakui di dunia fotografi.
Untuk
apa? Saya ini wartawan. Jadi setiap foto yang saya buat itu memang
harus saya pamerkan di media massa. Saya tidak perlu ruang pameran untuk
foto-foto saya. Setiap hari saya sudah pameran. Kalau yang dulu
diadakan TEMPO sih bukan saya saja, itu memang dibuat untuk semua
wartawan foto untuk memamerkan foto-fotonya.
Kopi, Alam, dan Fotografi
Ed ternyata tidak becanda ketika menuliskan ‘menikmati musik, mengobrol
dan mengoleksi cerita jenaka’ pada kolom hobi di biodatanya. Ed
mengatakan bahwa dirinya mampu mengobrol selama 40 jam non-stop untuk
membicarakan berbagai hal, apalagi kalau sambil minum kopi.
Kopi, alam, dan fotografi memang tiga hal yang paling tepat untuk
menggambarkan kepribadian seorang Ed Zoelverdi. Membumi seperti kopi
yang bisa diminum oleh siapa saja dan kapan saja. Berubah-ubah seperti
alam yang menyimpan banyak misteri. Mulia seperti fotografi yang bisa
membuat seseorang melihat dunia.
Makanya
jangan melihat apa-apa itu pakai kacamata hitam, waaah… berat bener
hidup kalau begitu. Hidup itu penuhi saja sama humor. Saya ini kan orang
Minang, diajarkan untuk belajar dari alam. Kamu tau hukum alam? Begini
bunyi hukum alam: yang tidak pernah berubah dari alam adalah perubahan
itu sendiri. Maka kita kalau hidup itu harus terus bergerak, harus
berkembang. Jangan jadi orang yang sombong dengan bilang bahwa ‘orang
emang udah dari sananya begitu’. Itu namanya sombong. Allah membenci
orang sombong dan kesombongan hanya akan membuat orang lupa diri.
Ed menyeruput sisa kopi pahitnya yang sudah hampir menyentuh dasar
gelas. Wajahnya yang dihiasi keriput terlihat sumringah. Nampaknya, Ed
memang senang sekali mengobrol untuk berbagi pengalaman.
Ed
yang terlihat kaku dari luar ternyata mempunyai hati yang sangat
hangat. Baginya, membuat orang lain menjadi sukses, dapat membuat
hidupnya menjadi lebih bermakna. Memuliakan orang lain memang tidak
perlu dengan sesuatu yang besar. Seperti awal kariernya yang dimulai
dari keengganannya menjadi zombie. Sesuatu yang besar memang selalu
berawal dari sesuatu yang sederhana.
Depok, 8 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar