Minggu, 13 Oktober 2013

Kedai Es Kopi Tak Kie: Secangkir Masa Lampau (Bagian 2)

Tahun 1927 yang terjebak dalam secangkir kopi
Jemari A Yau melambai ke arah seorang pria di meja seberang, bibirnya menyunggingkan senyum ramah. Penampilan pria di meja seberang itu tidak kalah kuno dari kedai kopi Tak Kie. "Itu salah satu pelanggan setia kopi sini. Saya temani minum kopi sesekali," ujar A Yau sambil terkekeh. Mau tidak mau, saya ikut melambai ke arah pria kuno itu, dengan senyum kikuk.

Beberapa orang dari meja lainnya kemudian ikut melambai ke arah meja saya dan A Yau. Jemari A Yau pun kembali mengayun. Dan saya, lagi-lagi tidak punya pilihan lain selain ikut melempar senyum kikuk ke arah wajah-wajah asing itu. Wajah mereka memaksa ingatan saya kembali pada wajah pemeran figuran dalam film-film yang dibintangi Jacky Chan atau Andy Lau. "Itu yang duduk di pojok, dia orang jauh-jauh dari Tangerang ke sini cuma buat ngopi," A Yau merendahkan suaranya, seakan memastikan bahwa ucapannya hanya didengar oleh saya. Khayalan saya pun buyar.

Para penyeruput kopi kembali sibuk di meja masing-masing. Suara-suara dari mulut mereka beradu dengan deru kipas angin yang menggantung di langit-langit. "Makanya barongsai saya larang masuk ke sini. Bisa-bisa makin berisik," telunjuk A Yau mengarah ke kertas peringatan Barong Sai!!! Dilarang Masuk yang tampaknya ditempel sembarangan di bagian depan kedai.

  


"Saya bikinkan kopi yang panas, ya?" A Yau menanyakan tawarannya yang sepertinya tidak butuh persetujuan saya. Tubuh kurusnya beranjak ke arah dapur. Saya menunggunya sambil menatap poster film Demi Dewi yang meramaikan dinding kedai. Salah satu adegan film yang dibintangi Wulan Guritno pada tahun 2010 itu konon turut mengabadikan kedai ini.



"Nih coba," A Yau menyodorkan secangkir kopi panas. Tombol rewind bermain dalam kepala saya. Ah, cangkir kopi ini sudah pernah saya lihat.Isinya pun... saya sudah tahu rasanya. Tapi saya tidak mungkin bilang ke A Yau kalau Kwie Tjong, leluhurnya di tahun 1927 sudah membuatkan kopi ini untuk saya. Bisa-bisa dianggap gila dan nasib saya jadi seperti barong sai yang diharamkan masuk ke kedai Tak Kie.



Rasa asam yang menyegarkan kembali menjerat indra perasa saya. Lagi-lagi menyisakan pahit di ujung rasanya. Tetap serasi dengan cuaca panas. Perlahan, dunia berwarna coklat kusam seperti dalam lembaran foto usang dan aroma udara yang lapuk kembali membingkai saya. Tidak ada A Yau di hadapan saya. Hanya ada gerobak kopi yang dikelilingi kursi dan pria yang tidak asing. Pria itu Kwie Tjong.


"Jadi, gelasnya kenapa beda?" tanya Kwie Tjong dengan nada tidak sabar. Ah, Pak Tua, kali ini saya sudah punya jawaban untuk pertanyaan itu.



***




Foto: Cempaka Fajriningtyas



2 komentar:

Ririn Mustika mengatakan...

Kak ayas, bikin novel dong, aku suka deh sama writing style nya.heheh

cempaka mengatakan...

Aiih, Ririn! Terima kasih yaaa udah nyempetin baca tulisan ini. Ninggalin pujian pula :p

Novel? Doain ya :)