Sabtu, 07 September 2013

Kedai Es Kopi Tak Kie: Secangkir Masa Lampau (Bagian 1)



Masa lampau berwarna coklat susu, siang itu meluncur di tenggorokan saya. Membuka cerita dengan rasa manis, memercikkan rasa asam yang pas, dan menyisakan pahit yang nyaman di ujung rasanya. Saya pun terbawa kembali ke tahun 1927, saat Liong Kwie Tjong mulai membuka kedai kopi Tak Kie.

Kwie Tjong sedang berdiri di samping gerobak kopinya. "Tak Kie dalam bahasa Cina berarti orang bijak dan sederhana yang diingat selamanya," ujar Kwie Tjong ke pada saya, sambil meracik es kopi hitam andalannya. Es kopi hitam yang sama, yang saya minum di tahun 2013.






Seperti tahu apa yang akan saya tanyakan, Kwie Tjong lalu menjelaskan racikan kopi legendarisnya. "Rasa asamnya hasil campuran berbagai biji kopi dari banyak daerah di Indonesia. Jenis kopinya... ah itu rahasia. Saya nggak akan kasih tahu."

Saya meletakkan gelas es kopi susu di tepi gerobak. Kwie Tjong melirik lalu kembali berkata, "Yang itu sudah dicampur susu, ya? Gelasnya kenapa beda?" Mendengar pertanyaan itu, tenggorokan saya yang baru dimanjakan oleh sejuknya es kopi susu langsung tercekat. Saya tidak tahu jawabannya.

"Ah, kamu diam saja bisanya!"  Kwie Tjong menggerutu melihat saya terdiam.Ia pun menata bangku-bangku di sekitar gerobak kopinya. Saya melihat sekeliling. Ya, ini kawasan Petak Sembilan di Jakarta. Tapi semuanya berwarna coklat kusam, seperti lembaran foto usang. Aroma udaranya pun lapuk.






"Coba yang ini. Ini nggak pakai susu." Kwie Tjong menyodorkan secangkir kopi hitam. Asap tipis mengepul di atasnya, berebutan menguap ke udara. Cuaca siang ini terik, tidak cocok dengan secangkir kopi hitam panas. Saya enggan meminumnya, tapi Kwie Tjong seakan tidak sabar menunggu saya menyambut cangkirnya.

Saya pun mengalah dan mengambil cangkir itu dari tangan Kwie Tjong. Pekat warna hitamnya sampai membekas di tepian cangkir. Namun, ketika kopi melewati bibir, rasa asam yang menyegarkan segera memenuhi mulut saya. Lagi-lagi menyisakan pahit di ujung rasanya. Sensasi rasanya kuat, tapi tidak 'berat'. Ternyata kopi hitam panas bisa serasi juga dengan cuaca siang yang terik, gumam saya.

"Segar?" tanya seorang lelaki ramah yang jelas keturunan Cina. Ia, bukan Kwie Tjong, duduk di hadapan saya. Bercak kecoklatan yang tampak di kulit kuningnya seakan menjadi penanda usia yang tidak muda lagi."Panggil saya A Yau saja," ujarnya lagi.


"Panggil saya A Yau saja."

"Gelasnya kenapa beda?" tanya saya spontan, menyerbu A Yau dengan pertanyaan Kwie Tjong yang tidak bisa saya jawab tadi. Saya  seperti baru tersadar dari lamunan panjang. A Yau terkekeh mendengar pertanyaan saya dan menjawab, "Gelas di sini banyak yang hilang, nggak tahu kenapa lah... Makanya saya sering belanja gelas baru."

"Gerobak kopinya mana?" tanya saya lagi sambil menatap orang-orang di sekitar saya. Semuanya berwarna normal. Tidak ada warna coklat usang, kecuali kursi kayu dan etalase di sebelah meja kasir. Semua berbeda, hanya aromanya yang sama. Aroma lapuk dan racikan kopi yang sama. "Gerobak kopinya sudah lama nggak ada," jawab A Yau santai.

Saya melirik kalender kertas di dinding. Tahun 2013, bulan Maret. Pantas saja Kwie Tjong tidak tampak lagi, begitu pula gerobaknya. Saya sudah kembali, ujar saya dalam hati. Tak Kie sudah melewati enam masa kepresidenan Indonesia. A Yau, yang merupakan generasi ketiga pemilik Tak Kie, bahkan sudah mengalami asimilasi. Namanya di KTP berganti menjadi nama yang lebih terdengar Indonesia, Latif Yunus. Hanya kedai Tak Kie yang setia dengan nama aslinya.


"Gerobaknya sudah lama nggak ada," ujar A Yau


Di usianya yang ke-63, A Yau tetap semangat mengurus Tak Kie bersama keluarga. Setiap hari ia ikut bergelut di dapur untuk memastikan kualitas racikan kopinya.Keempat anaknya belum ada yang berminat untuk melanjutkan Tak Kie. Ia belum tahu masa depan dari kedai kopi yang terletak di gang sempit di kawasan Petak Sembilan, Glodok, tepatnya di Gg Gloria, RT 02/06, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat ini 

"Kenapa nggak ikut minum kopi? Bapak A Yau kan pengusaha kopi," tanya saya. A Yau menggeleng sambil tertawa pelan. Sudut matanya menyipit. "Saya sudah nggak kuat minum kopi. Jadi sekarang cuma nemenin pelanggan minum kopi saja."


***




Blog post ini saya buat berdasarkan wawancara dengan Bapak A Yau, suatu siang di kedai kopi Tak Kie. Tunggu bagian ke-2, ya....



Foto: Cempaka Fajriningtyas


7 komentar:

BOGAWATI mengatakan...

selesai baca tulisan ini jadi pingin ikut ngopi, dweeehhh...

cempaka mengatakan...

Hehehe... Mbak Bogawati juga hobi ngopi, ya? Kalau mau main-main ke Tak Kie, jangan sore-sore. Tak Kie cuma buka sampai jam 2 siang :)

Terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca blog post saya, Mbak. Have a nice day :)

Xo,
Cempaka

Unknown mengatakan...

cempaka...aku kan suka ngopii...kapan2 ajak dunkss.... ;)

duniamamisanti mengatakan...

Saya gak suka kopi krn sering mengalami rasa perih d lambung sesudah minum kopi. Tapiii...sayaa sangat-sangat suka gaya tulisannya. Sederhana, apa adanya, tp menarik utk saya tunggu bagian2 selanjutnya. Mulai hari ini, im your big fans cempaka...

duniamamisanti mengatakan...

Saya gak suka kopi krn sering mengalami rasa perih d lambung sesudah minum kopi. Tapiii...sayaa sangat-sangat suka gaya tulisannya. Sederhana, apa adanya, tp menarik utk saya tunggu bagian2 selanjutnya. Mulai hari ini, im your big fans cempaka...

cempaka mengatakan...

@Unknown:
Kalau 'Unknown', bagaimana saya bisa ajak? Hehehe...

@DuniaMamiSanti:
Kalau begitu, Mami Santi menikmati kopi dari aromanya saja. Aromanya sedaaaap dan nggak bikin lambung perih :)
Wah! Saya belum pernah punya fans, apalagi BIG FANS! Terima kasih ya sudah menyempatkan 'main-main' ke blog ini, Mami Santi :)

Megalomenz mengatakan...

Izin share di group kopi kantor, ya... Masih di apato, kan? Kita harus ngopi bareng. Saya yang bawa Kopinya. :)