‘Pintu rumah’ dalang wayang
suket Slamet Gundono terbuka.
Mengajak manusia bermesraan di
dalamnya.
Menyatu dalam cinta dan
kehilangan.
Ruangan berdinding hitam itu hening. Tak ada telapak tangan
yang beradu, tak ada juga yang beranjak meninggalkan bangku. Padahal, para
seniman di panggung sudah berhenti menari beberapa detik yang lalu. Dalam
cahaya temaram dan bisikan yang teredam, para penonton yang berasal dari
berbagai bangsa malah terpaku.
Perlahan, cahaya putih menerangi panggung. Sinarnya menerpa
wajah para penonton dengan canggung. Ada yang menyunggingkan senyum, ada pula
yang menatap dengan kagum. Ada deru napas yang tertahan, tampak pula bibir yang
gemetar. Semua itu kemudian larut dalam tepukan tangan dan sorakan riuh yang mengiringi kepergian enam seniman ke balik layar panggung.
Selama dua malam (27-28 April 2012), ruangan Teater Salihara,
Pasar Minggu, jadi saksi bisu. Barat dan Timur, tradisional dan modern, tua dan
muda, pria dan wanita, akal dan nafsu ternyata bisa saling memahami dalam satu
bahasa. Bahasa cinta dan kehilangan. Itulah yang Akiko Kitamura (koreografer
dan penari-Jepang), Martinus Miroto (penari-Indonesia), Rianto (penari-Indonesia), Ruri Mito (penari-Jepang), Kei
Ishikawa (sutradara-Jepang), Yasuhiro Morinaga (penata suara-Jepang), dan Slamet Gundono
buktikan dalam pementasan tari kontemporer To
Belong.
***
“Slamet Gundono bakal ‘ndeprok di pinggir
panggung kayak waktu di pentas
Garibaba nggak, ya?” celetuk seorang
mahasiswa yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh gerombolan temannya. Tak jauh dari tempat duduk mereka, dua orang wanita Kaukasia menunjuk-nunjuk ke panggung, “Look! The stage is very simple.” Pertanyaan berbahasa Jepang lalu terdengar dari deret bangku yang sama, “Nanji ka? (Sekarang jam berapa, sih?)"
mahasiswa yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh gerombolan temannya. Tak jauh dari tempat duduk mereka, dua orang wanita Kaukasia menunjuk-nunjuk ke panggung, “Look! The stage is very simple.” Pertanyaan berbahasa Jepang lalu terdengar dari deret bangku yang sama, “Nanji ka? (Sekarang jam berapa, sih?)"
Lebih
30 menit dari waktu yang tertera di tiket, lampu ruang teater meredup menjadi
cahaya kekuningan. Celotehan berbagai bahasa perlahan tergantikan oleh suara
kicau burung yang bersahutan dengan suara desir angin dan debur ombak. Semakin
lama semakin keras, memantul-mantul riang seperti gema di dalam goa. Slamet
Gundono kemudian muncul. Tidak ‘ndeprok di
bibir panggung, melainkan di dalam selembar kain putih yang terjulur dari
langit-langit. Sang Dalang hadir dalam wujud digital.
Slamet,
bersender santai pada batang pohon besar, menuturkan kisah tentang ibunya yang
bernama Soindep dengan iringan irama riang ukulele yang dipetiknya. Sesekali ia
berdendang dalam bahasa Jawa, menyertai
tuturannya tentang cara Soindep membesarkan anak-anaknya hingga kepergiannya ke
nirwana.
Gambar
bergerak di kain putih itu perlahan bertranformasi ke bentuk animasi. Dari
balik rambut ikal yang memenuhi kepalanya, ia menarik retsleting. Dari situ,
terbuka ruang gelap yang kemudian ‘memuntahkan’ wayang-wayangnya. Empat wayang
rumput suket Slamet mewujud sebagai manusia yang keluar dari balik kain putih. Ya, seikat rumput dalam balutan digital.
***
Tubuh
wayang-wayang yang tampak gundah itu kemudian bergerak tidak seragam, menyelami
tuturan Slamet. Menari sambil mengisahkan kehilangan dengan sentuhan akar
budaya masing-masing. Martinus dan Rianto menggerakan tubuhnya dengan lambat
namun khidmat khas tarian Jawa. Sedangkan tubuh Akiko dan Ruri tampak agresif
dengan gerakan cepat dan bertenaga, layaknya pengiring Taiko. Suara-suara alam
kembali memantul di dinding hitam, berbaur dinamis dengan dentuman musik
elektro. Cahaya temaram panggung berganti dengan kilatan warna, seperti pelangi
yang tercerai berai.
yang tercerai berai.
“My Father died three years ago,” cerita Akiko
sambil menggerakan tubuhnya dengan kaku ke satu arah. Martinus bergerak lambat, menuturkan keharuan saat
pertama kali berhasil berkomunikasi secara artistik dengan almarhumah ibu yang
tidak memahami pendidikan tari. Tubuh mengejang Ruri lalu bergerak patah-patah
ke berbagai arah, ia mengingat lagi kucing kesayangannya yang telah mati. Kemudian
Rianto melengkapi ceritanya dengan gerakan tubuh yang risau, “Orang kampung
bilang saya gila karena suka menari Lengger.”
Suara
kicau burung berbalut debur ombak dan hentakan progresif musik elektro menggema
lagi. Gerakan tubuh para wayang semakin tak terkendali mengikuti kilatan
cahaya, menggila, menggelinjang hingga… TAP! Ruangan jadi sunyi dan gelap.
Slamet kembali muncul di selembar kain putih. Membuka lagi retsleting di
kepalanya dan memperlihatkan ruang gelap di dalamnya. Keempat wayang mengangkat
kursi dan pulang ke dalam ’kepala’ sang Dalang.
Ruangan berdinding hitam itu
hening. Tak ada telapak tangan yang beradu, tak ada juga yang beranjak
meninggalkan bangku. Padahal, para seniman di panggung sudah berhenti menari
beberapa detik yang lalu. Dalam cahaya temaram dan bisikan yang teredam, para
penonton yang berasal dari berbagai bangsa malah terpaku. Inilah seikat cerita dalam satu bahasa.
***
Jika satu pintu tertutup, akan ada jendela yang terbuka.
Itulah yang terjadi setelah pertunjukan usai dan pintu ruangan Teater Salihara
ditutup. Di balik atribut gaya hidup yang melapisi tubuh para penonton, ada
jendela hati yang terbuka. Milik Fuadilah (27), yang jauh-jauh datang dari
Bogor, adalah salah satunya, “Sudah setahun Ayah saya meninggal, tapi baru
sekarang bisa nangis, bisa nerima kalau
Ayah sudah nggak ada. Penari-penari
itu juga pernah kehilangan, saya nggak
sendiri.”
Sepasang
sahabat, Maretha (32) dan Kiki (33), punya pendapat sendiri. Menurut mereka,
seluruh penduduk bumi harusnya menonton pementasan ini. ”Supaya mereka ingat
lagi dengan cinta dan perdamaian. Biar nggakperang dan demonstrasi melulu,” ujar mereka kompak. Mata Jay (19) malah
masih berkaca-kaca saat keluar dari ruang teater. Mahasiswa Institut Kesenian
Jakarta ini mengaku hanya ingin cepat pulang ke rumah dan bertemu ibunya.
”Sejak kuliah, gue sering lupa ngobrol sama Ibu.”
Ah,
ternyata memang ada banyak cara untuk mengetuk jendela hati manusia. Pementasan
hasil kerja sama Akiko Kitamura Production (Tokyo, Jepang), Komunitas Salihara,
The Japan Foundation, Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, The Saison Foundation,
The Japan Arts Council, Asahi Breweries Ltd., dan Setagaya Public Theater
inilah buktinya. Lupakan cara-cara anarkis yang korosif.
Melalui karya seni, koreografer Akiko Kitamura dan dalang Slamet Gundono justru
berhasil mengajak manusia untuk berdamai dengan kehilangan. Sebab... selalu ada seikat cinta untuk
manusia.
manusia.
Foto: dok. Salihara
*tulisan ini pernah saya share di iyaa.com dengan judul yang sama :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar